HAMBATAN PERKEMBANGAN
PERBANKAN
SYARIAH
ABSTRAK
Kurangnya perkembangan Sumber Daya
Insani (SDI) yang memahami prinsip-prinsip keuangan syariah dan belum
lengkapnya infrastruktur dan regulasi, khususnya untuk lembaga keuangan syariah
non bank merupakan suatu tantangan yang harus segera ditindaklanjuti dengan
kebijakan maupun upaya-upaya yang intensif untuk mengurangi hambatan -hambatan
tersebut.
Melihat masalah yang ada dalam
pengembangan perbankan syariah, maka solusi yang mungkin bisa untuk mengatasi
adalah perlu ada upaya bersama untuk mencari jalan keluar, misalnya menyusun
undang-undang bank syariah tersendiri dan juga pengembangan produk dalam
perbankan syariah dapat mengikuti arah perbankan konvensional, tetapi asas-asas
produk syariah tidak boleh ditinggalkan. Lalu perlu adanya usaha terus menerus mengembangkan
teknis keuangan untuk memberikan alternatif bagi perbankan syariah terhadap
produk keuangan di perbankan konvensional. Pengembangan produk juga memerlukan sumber
daya yang mengerti dan mendalami syariah.
Kata Kunci: Syariah dan Perbankan
PENDAHULUAN
Penyempurnaan Undang-undang No. 7 Tahun
1992 menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tersebut merupakan langkah maju dalam
perkembangan perbankan, terutama bagi perbankan syariah. Dalam undang-undang
ini perbankan syariah diberikan perlakuan yang sama dengan perbankan konvensional.
Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank
Indonesia (BI) mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan
perbankan syariah, yaitu membentuk satuan kerja khusus pada April 1999. Satuan
kerja khusus ini menangani penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim
Penelitian dan Pengembangan Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan
Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal bagi Biro Perbankan Syariah yang
dibentuk pada 31 Mei 2001, dan sekarang resmi menjadi Direktorat Perbankan
Syariah Bank Indonesia sejak Agustus 2003.
Pengembangan perbankan syariah tersebut
juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan sistem perbankan
nasional seperti yang telah dicetuskan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia
(API) dan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah. Selain itu juga adanya
berbagai kebijakan pengembangan yang diambil oleh Bank Indonesia terutama
program edukasi kepada masyarakat dan dukungan terhadap perluasan jaringan
pelayanan perbankan syariah, sehingga sampai dengan kurun waktu akhir tahun
2004, kinerja perbankan syariah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal
ini tercermin dengan adanya peningkatan total aset, penghimpunan dana pihak
ketiga (DPK), dan pembiayaan yang disalurkan (PYD), baik nilai maupun
proporsinya terhadap perbankan nasional (Octaviana, 2007). Antara perbankan
syariah dengan lembaga keuangan syariah lainnya, pasar keuangan syariah,
reksadana dan asuransi syariah secara
sinergi bersama-sama telah mengembangkan sistem keuangan syariah.
Apalagi didukung dengan adanya fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN) mengenai
penerbitan obligasi syariah (ijarah) sangat mendorong penerbitan obligasi
syariah dan meningkatkan pasar obligasi syariah tersebut. Dengan adanya
peningkatan obligasi syariah tersebut berdampak
pula pada peningkatan kinerja pasar reksadana syariah, khususnya
untuk jenis reksadana
pendapatan tetap. Namun demikian, perkembangan keuangan syariah
tersebut ternyata tidak dibarengi dengan pengembangan sumber daya insani (SDI)
yang memahami prinsip prinsip keuangan syariah dan belum lengkapnya
infrastruktur dan regulasi, khususnya untuk lembaga keuangan syariah non bank.
Hal ini merupakan suatu tantangan yang harus
segera ditindaklanjuti dengan kebijakan maupun upaya-upaya yang
intensif untuk mengurangi hambatan-hambatan tersebut. Selain itu pengembangan
produk syariah ke perbankan juga tidak semudah yang diduga. Perdebatan yang
tadinya hanya berkisar tentang hal-hal kecil seperti penentuan harga terhadap
nasabah, berkembang menjadi masalah berat seperti time value of money, economic
cycle, posisi harta dalam Islam, peran
hakim syariah, dan sebagainya.
TANTANGAN PERKEMBANGAN
PERBANKAN SYARIAH
1. Regulasi
Dalam Harahap (2003) disebutkan bahwa
Undang-undang dan peraturan yangberlaku di Bank Syariah berjalan beiringan.
Namun sebenarnya regulasi dalam perbankansyariah di Indonesia masih berdasarkan
sistem sekuler. Setelah pendirian Bank Syariah pertama tahun 1992, Bank
Indonesia membentuk Biro perbankan Syariah yang berfungsi untuk mengatur dan
mengawasi Bank Syariah, baik dari aspek perbankan maupun dari aspek syariah.
Meskipun sudah ada Biro Perbankan Syariah, regulasi mengenai operasi perbankan
syariah masih menggunakan aturan umum dalam perbankan konvensional, kecuali
dalam beberapa hal. Permasalahan utamanya adalah pada sebuah aturan mengenai
dual banking sistem. Menurut cetak biru Perbankan Syariah yang dikembangkan di
Indonesia, Bank Syariah seharusnya memiliki Undang-undang Perbankan Syariah
yang memisahkan dan berbeda dari Undang-Undang Bank Konvensional.
Dalam upaya mengembangkan sistem
perbankan syariah yang sehat dan amanah
serta guna menjawab tantangan-tantangan yang akan dihadapi oleh
sistem perbankan syariah Indonesia, Bank Indonesia menyusun “Cetak Biru
Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Sasaran pengembangan perbankan
syariah sampai tahun 2011, sebagaimana termaktub dalam Cetak Biru tersebut,
adalah (Biro Perbankan Syariah BI, 2002):
1. Terpenuhinya prinsip syariah dalam operasional perbankan;
2. Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan
syariah;
3. Terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan
efisien; serta
4. Terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya
kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Beberapa sasaran diatas menjadi
tantangan bagi praktisi, regulator maupun masyarakat umum untuk terus berupaya
saling bekerjasama dalam usaha peningkatan Perbankan Syariah di Indonesia.
2. Diversifikasi Produk
Dalam berhubungan dengan nasabah
pembiayaan, produk dibagi menurut tingkat kepercayaan yang telah terjalin
diantara keduanya. Untuk nasabah yang baru, biasanya tidak langsung diberikan
pembiayaan dengan kepercayaan penuh, seperti Mudharabah atau Musyarakah. Tetapi
diberikan produk jual beli, seperti Murabahah, Salam dan Istisna. Karena dalam
produk ini bank dapat menerapkan semua prinsip perbankan murni, seperti hutang,
kewajiban cicilan, jangka waktu, tingkat harga, jaminan tambahan dan
sebagainya. Ketika melalui produk pembiayaan ini kepercayaan nasabah sudah
dapat dilihat, bank kemudian menawarkan
produk yang lebih beresiko, seperti Mudharabah. Pada produk ini bank tidak
dapat lagi membebankan resiko pada nasabah, karena sepenuhnya ditanggung
oleh bank.
Kredibilitas, integritas dan akuntibilitas
nasabah sebagai mudharib menjadi faktor penentu. Dan jika dengan produk ini
nasabah bisa dipercaya, maka produk yang tertinggi tingkat resikonya, yaitu
Qardh (pinjaman tanpa bagi hasil) dapat diberikan. Pada tingkat ini nasabah
telah mencapai taraf prima (prime customer) karena tanpa jaminan dan tanpa
kewajiban memberikan tambahan, bank dapat memberikan pinjaman. Biasanya
diberikan
untuk kebutuhan mendesak, berjangka waktu relatif pendek, tidak
bisa dilayani oleh produk lain dan kemungkinan besar tidak akan macet.
Permasalahan terhadap pengkategorian produk seperti ini adalah bahwa fasilitas
mudharabah hanya diberikan kepada nasabah yang besar-besar saja, karena hanya
mereka saja yang mampu melewati unsur-unsur perbankan teknis pada tahap sebelumnya,
seperti jaminan tambahan. Meskipun ini tidak melanggar syariah, karena
menyangkut pilihan kebijakan, maka dapat dipastikan bahwa perbankan syariah
akan melestarikan status quo ekses perbankan konvensional, yaitu hanya strata
masyarakat atas saja yang dapat menikmati fasilitas perbankan.
Tuntutan masyarakat agar ada bank
syariah di daerahnya juga menjadi sumber
diversifikasi produk. Daerah seperti Sumatera dan Kalimantan yang
lebih mengedepankan
budi daya kehutanan dan perkebunan menuntut produk pembiayaan
dengan jangka waktu
lebih panjang karena tidak mungkin mereka dapat mengembalikan dana
pembiayaan
dalam jangka waktu satu-dua tahun, padahal hasil perkebunan baru
dapat dinikmati setelah
5 tahun (Hakim, 2008). Ini berarti bahwa produk syariah harus diarahkan
ke arah produk investasi yang bisa dikembangkan menjadi instrumen pasar uang
antar bank syariah, dengan tujuan diantaranya menjaga likuiditas. Sedangkan di
daerah perkotaan, orang lebih
suka dengan jangka pendek, misalnya 2 tahun. Dengan demikian kategori
pengembangan produk harus ditambah dengan investasi dan retail. Dalam Arifin
(2003) disebutkan bahwa
sepanjang praktik Perbankan Konvensional tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam maka Bank Syariah dapat mengadopsi sistem dan prosedur perbankan
yang ada.
3. Penentuan Harga
(Pricing)
Masalah yang jadi bahan perdebatan adalah berapa tingkat
keuntungan yang harus dibebankan kepada nasabah sebagai penghasilan bank. Dalam
Hakim (2008) untuk produk jual beli seperti Murabahah, Istisna dan Salam, bank
dapat menentukan tingkat keuntungan seperti halnya dalam perbankan
konvensional, misalnya 12 persen. Lebih lanjut Hakim (2008) tingkat keuntungan
ini lalu ditambahkan kepada harga beli dan menjadi harga jual kepada nasabah.
Tapi persoalannya tidak selesai sampai disitu. Perdebatan terjadi setelah
timbul pertanyaan apakah tingkat keuntungan itu lumpsum atau per
annum.
Menurut Hakim (2008) dalam syariah harga
jual tidak boleh dua kali dalam satu akad. Artinya jika bank dan nasabah
menyepakati tingkat keuntungan 12 persen per annum dari harga beli sebesar Rp.
100 juta dan dalam jangka waktu dua tahun, berarti ada dua harga dalam satu
akad pembiayaan. Jika nasabah sudah mencicil hutangnya sampai 20 bulan lalu
menunggak, dan baru bisa melunasi sesudah 2 tahun setengah, maka harga jualnya
tidak lagi sebesar harga beli ditambah 24 persen, tetapi harga beli ditambah 30
persen. Itu sebabnya mengapa bank syariah mendapat kritik tajam dari sebagian
masyarakat, karena penentuan harga seperti ini tidak berbeda dengan penentuan
tingkat bunga dalam bank konvensional.
4. Sumber Daya Manusia
Keluarnya fatwa haram suku bunga bank
pada tahun 2003, menggerakkan sejumlah bank konvensional untuk membuka windows
syariah. Seperti yang disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Perbankan Nasional
(Perbanas), pihak managemen bank konvensional bersikap pragmatis. Jika tuntutan
publik secara luas menghendaki sistem syariah, pihak bank akan berusaha
menyesuaikan kebutuhan itu sebagai sebuah tuntutan pasar yang memang harus
diikuti. Persoalannya hanya teknis dan itu bisa dipelajari dan diaplikasikan.
Dengan sikap pragmatis seperti ini, maka
banyak bankir konvensional yang di training kilat untuk menjalankan sistem
syariah. Padahal untuk menjadi bankir di perbankan syariah, idealnya, tidak hanya
menguasai hal teknis namun juga mampu memasukkan ruh islam dalam perilaku
sehari-hari, baik sebagai bankir maupun sebagai individu di masyarakat.
Hasilnya masih banyak Sumber Daya Insani yang merupakan produk instan guna
menjawab permintaan pasar. Namun disatu sisi perbankan Indonesia masih minim
Sumber Daya Insani yang bukan hanya berjilbab saat memberikan pelayanan, namun
juga berjilbab hati dan jiwanya, bukan hanya SDI yang mampu mempraktikkan
teknik-teknik pembiayaan perbankan syariah namun juga paham mengenai
dasar-dasar penetapan akad dan hakikat penerapan akad yang sesuai dengan
syariah. Masih minimnya Sumber Daya Manusia yang berkualitas ini menjadi sebuah
tantangan bagi pihak perbankan. Untuk menjawab tantangan ini semua stakeholeder
diharapkan mampu bekerjasama sehingga kebutuhan dunia Perbankan Syariah
terhadap SDM dapat terpenuhi baik dari sisi kulitas maupun kuantitasnya. Di
kalangan perbankan syariah, bahkan di negara berkembang pada umumnya penelitian
dan pengembangan (research and development) belum mendapat prioritas tinggi.
Bank-bank syariah lebih banyak mengadakan seminar dan konferensi untuk membahas
isu (Omar dan Ghazali, 1992).
KESIMPULAN
Melihat problematika yang ada dalam pengembangan perbankan
syariah, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengembangan produk dalam bank syariah seringkali terjebak
diantara kedua aturan yang saling tarik menarik, yaitu syariah dan hukum
positif. Perlu ada upaya bersama untuk mencari jalan keluar, misalnya menyusun
undang-undang bank syariah tersendiri. Hal ini amat penting agar bank syariah
dapat menunjukkan ciri khas produknya dari yang dimiliki bank konvensional
2. Pengembangan produk dalam perbankan syariah dapat mengikuti
arah perbankan konvensional, tetapi asas-asas produk syariah tidak boleh
ditinggalkan. Semua produk syariah dapat diterapkan untuk semua jenis kategori,
tetapi harus mengikuti konsekwensinya.
3. Perlu adanya usaha terus menerus mengembangkan teknis keuangan
untuk memberikan alternatif bagi perbankan syariah terhadap produk keuangan di
perbankan konvensional. Rujukan (benchmark) keuangan merupakan contoh yang
paling jelas dalam hal ini.
4. Pengembangan produk bukan saja melibatkan sumber daya yang ada
dalam penelitian dan pengembangan, tetapi juga sumber daya yang mengerti dan
mendalami syariah, karena sumber daya manusia yang ada di bank syariah sekarang
ini belum memiliki pengetahuan di kedua bidang itu secara simultan. Untuk itu
perlu dikembangkan sejak dini penggabungan pendidikan ilmu duniawi dan ilmu
agama dan ini harus dilanjutkan ke tingkat berikutnya bahkan sampai tingkat
perguruan tinggi, sehingga dikotomi pengetahuan agama dan pengetahuan dunia
lama-kelamaan akan menipis. Ini bukan tugas perbankan syariah semata, tapi
tugas umat Islam secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. 2003. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Alvabet:
Jakarta
Bank Indonesia. 2007. Statistik Perbankan Syariah dalam. www.bi.go.id
Hakim, Cecep Maskanul. 2008. Problem Pengembangan Produk Dalam
Bank Syariah.
Available at www.vibiznews.com.
artikel bermanfaat
BalasHapus